1
Tak ada lagi yang harus kutemui
pada jam istirahat, tak ada.
Namun, tak ada pula kata istirahat
dalam mencintaimu, tak ada.
2015
2
Sejauh ini aku tetap merindukanmu.
Sedekat kemarin pun aku tetap begitu.
Berarti, bukan lagi jarak yang menciptakan rindu,
tapi rasa, perasaan akan dirimu.
3
Tiba-tiba kau bertanya,”Apa kabar?”.
Seketika itu pula kabarku menjadi sangat baik
dari biasanya.
2017
4
Aslinya, malamku panjang.
Menjadi pendek karena harus berhenti
sejenak memikirkanmu.
Sebagai manusia, aku perlu tidur juga.
Yang kemudian berdoa,
berharap kehadiranmu di mimpiku.
2018
5
Kuakui, ya seperti biasa.
Di hadapanmu, selalu tersipu malu.
Di hadapan Tuhan, tak lekang mengharapmu.
Kuakui, ya seperti biasa.
Di hadapanmu, selalu lidahku kaku.
Di hadapan Tuhan, tak lekang mendoamu
Terinspirasi dari Puisi Kharisma P.
6
Aku ingin,
suatu saat kita berdua berada
pada salah satu puncak mencintai,
ketika kita tidak perlu mengucapkan cinta,
namun saling mengerti.
Repotnya aku jika cinta harus diucapkan,
dan mungkin kau pun akan bosan,
jika setiap saat yang kuucapkan
hanya cinta akan dikau.
7
Ya. Tentu.
Kalau kelak kau meniadakanku.
Paling tidak, waktu sudah merekam semuanya.
Tapi, kalau kelak kau merindukanku.
‘Kan kujawab, “Tidak tahu ya? Aku sudah dari dulu.”
2018
8
Engkau,
Dermaga tempatku berlabuh
Cinta datang bukan karena jatuh,
Tapi menepi dengan sungguh
9
Tidak ada hari minggu,
tidaklah pula ada tanggal merah
di kalender masehi maupun hijriah.
Tidak ada aku yang berlibur
mencintaimu.
Pada suatu hari,
engkau lahir hari senin
dan aku selasa.
Tidak ada rabu, kamis, jumat, dan sabtu.
Tapi tetap, tidak ada hari minggu
dalam mencintaimu.
10
Jika kelak kau meniadakanku.
Paling tidak, waktu sudah merekam semuanya.
Tanpa perlu foto.
Tanpa perlu jejak sayatan pisau
bertuliskan nama kita berdua di pohon.
11
Aku yakin engkau perempuan baik,
yang akan membaca pesanku
lalu membalas dengan segera.
Jika pesanku tenggelam,
semoga Tuhan menjadikan engkau
perempuan yang sabar menscroll pesan.
Amin.
12
Kuperhatikan rambutmu tampak berbeda
sedikit lebih panjang dan mengembang,
Senyummu masih sama,
tulus dan tak pura-pura.
13
Apapun yang terjadi hari ini.
Kami bertatap lebih dekat.
Kami senyum.
Kami melambai.
Dan, mungkin, kami sedang mengulang waktu.
14
Pada akhirnya semua perempuan harus paham,
laki-laki adalah manusia yang menjadi berbeda
sesuai cara pandang perempuan.
15
Tentu, aku masih merasakan dinginnya malam itu di atas motormu.
Namun, seketika pula kehangatan dalam tubuhku meningkat,
ketika yang bersamaku adalah dirimu.
16
Aku tidak lupa membawa permen untukmu,
manisnya cinta menempel di gigimu
yang katanya selalu sakit setelah mengunyahnya,
walaupun sebenarnya kau suka
Aku lupa sudah bungkus ke berapa ini.
Kalau permen yang kuberi
sudah habis kau kunyah.
Mengapa manisnya masih tertinggal di wajahmu
17
Seberapa besarpun penolakan yang bersumber darimu terhadapku.
Rasanya sulit jika tidak mengkhawatirkanmu ketika panas sedang terik-teriknya.
Lalu bertanya-tanya tanpa berani menanya.
“Apakah kau sedang dalam adem yang menjagamu atau semburat matahari yang menyilaukanmu?”
Seberapa besarpun penolakan yang bersumber darimu terhadapku.
Rasanya sulit jika tidak mengkhawatirkanmu ketika hujan sedang deras-derasnya.
Lalu bertanya-tanya tanpa berani menanya.
“Apakah kau sedang dalam teduh yang nyaman atau riuh cipratan hujan yang menghujam?”
18
Bagaimana jika selendang yang kaugunakan saat menari adalah aku,
yang dijahit benang-benang rindu,
dan lentur bagai nestapa, yang datang tanpa aba.
Tapi pernahkah kau membayangkan jika selendang itu aku,
merengkuh tubuhmu yang cring-cring karena suara gelang-gelang India.
Merangkul pundakmu yang basah karena gerak-gerik resah.
Menyingkap-menyahap hatimu, yang ternyata
di dalamnya bukan aku.
19
Aku ingin menjadi jaket-jaketmu
yang kautanggalkan dan tinggalkan
di kepala motor yang kaupakai berkendara
bersama dengan kekasihmu menerabas hujan.
Aku ingin menjadi anak kecil dalam dirimu
yang suka sekali tertawa
walaupun hanya mendengar kata-kata nirmakna.
Aku ingin menjadi aku untuk mencintaimu
20
Melihat sudut kota dari sudut bibirmu,
yang pusatnya jelas di bening matamu.
Aku tertimbun reruntuhan masa lalu.
Ketika dirimu tak hanya merayu,
tapi sumber penawar pilu.