Surat Yang Tak Pernah Terkirim

Yth. Ibuku
di
Dapur
Hormat dan kasihku,
Bersamaan dengan surat ini, telah kuletakkan seikat kacang panjang di dalam kulkas mungil, supaya tetap segar dan dibiarkan menggigil. Pepaya mentah telah dikupas kulitnya dan dibiarkan terkulai lemas di wastafel, tapi bu, maaf aku lupa meletakkan melinjo, daun melinjo, dan kacang tanah, mereka masih dalam genggaman, jangan khawatir kalau nanti pulang, ‘kan aku letakkan sekalian dengan sekepal senyuman. Oh iya, jagung manis telah kulahap habis, lebih dulu sebelum semua beradu padu. Semua bumbu tersimpan di kantung matamu, yang terbuka setiap waktu.
Jika berkenan, balaslah surat ini dengan semangkuk sayur asem dan setumpuk rindu yang menjelma nasi buatanmu.
Demikian surat ini kubuat, terima kasih atas masakannya.

Salam,
Anakmu.

Standard

#Belajar-Mencintai-Ibu

1.

Di antara baris-baris ikan teri,

Aku temukan bibirmu simpul berseri.

Di antara basahnya biji-biji cabai dalam sambal terasi,

Aku temukan butir-butir mata air mata.

Di antara jengkol-jengkol yang kuyup berminyak,

Aku temukan wajahmu dihajar keringat.

Di atas piring kaca itu,

Aku menemukanmu, Ibu.

2.

Waktu aku kecil,

Nasiku adalah nasi Ibuku.

Tidak ada nasi orang lain dalam perutku,

Kecuali mereka berbohong, bahwa

“Itu nasi buatan ibumu. Makanlah”

Tentu saja, aku mudah percaya saat itu.

Nasiku adalah nasi ibuku,

Yang berasnya dicuci dengan saripati cinta

Dan dimasak dalam ruang kasih sayang.

3.

Seringkali aku melihat

wanita paruh baya itu mengendap-endap,

bersembunyi dalam kopi yang dibuatnya,

melakukan pertahanan atas kantuk yang ‘kan melawan.

Atau malah kopi telah mencuri matanya.

Kalau saja aku tahu kapan dia mengendap-endap,

aku ingin menyamar jadi biji-biji kopi

sebelum digerus dan diseduhnya.

Dia menunggu anaknya tertidur,

memastikan selimut di ranjang telah menjelma sekujur tubuh.

4.

Terlihat grasah-grusuh wanita paruh baya sebelum subuh di dapur yang lusuh. Lebih dari sepertiga malam, entah 2/3 malam, atau 3/3 malam, kulihat matanya masih kelam temaram. Tiba-tiba terdengar pertarungan antara sodet dan wajan yang membawa aroma kehidupan. Asap-asapnyamenyembul kemana-mana, tercium hingga membangunkan ayam yang ‘kan bersuara.

Dia bangun lebih awal, mata kailnya siap memancing matahari keluar dari persembunyiannya. Mengganti pakaian langit yang gelap jadi terang kebiru-biruan. Menghidangkan 4 sehat 5 seadanya, di meja makan yang tak ada mejanya. Dia bangun lebih awal, bahkan sebelum matanya yang kasual.

5.

Kalau memang ku hanya tidur dalam dekapmu setiap malam.

Tapi mengapa pelukmu merasuk setiap waktu, Ibu.

 


Bandung, 29 September 2018

Standard

SAJAK-SAJAK UNTUK, SIAPA?

1

Tak ada lagi yang harus kutemui

pada jam istirahat, tak ada.

Namun, tak ada pula kata istirahat

dalam mencintaimu, tak ada.

2015

2

Sejauh ini aku tetap merindukanmu.

Sedekat kemarin pun aku tetap begitu.

Berarti, bukan lagi jarak yang menciptakan rindu,

tapi rasa, perasaan akan dirimu.

3

Tiba-tiba kau bertanya,”Apa kabar?”.

Seketika itu pula kabarku menjadi sangat baik

dari biasanya.

2017

4

Aslinya, malamku panjang.

Menjadi pendek karena harus berhenti

sejenak memikirkanmu.

Sebagai manusia, aku perlu tidur juga.

Yang kemudian berdoa,

berharap kehadiranmu di mimpiku.

2018

5

Kuakui, ya seperti biasa.

Di hadapanmu, selalu tersipu malu.

Di hadapan Tuhan, tak lekang mengharapmu.

Kuakui, ya seperti biasa.

Di hadapanmu, selalu lidahku kaku.

Di hadapan Tuhan, tak lekang mendoamu

Terinspirasi dari Puisi Kharisma P.

6

Aku ingin,

suatu saat kita berdua berada

pada salah satu puncak mencintai,

ketika kita tidak perlu mengucapkan cinta,

namun saling mengerti.

 

Repotnya aku jika cinta harus diucapkan,

dan mungkin kau pun akan bosan,

jika setiap saat yang kuucapkan

hanya cinta akan dikau.

7

Ya. Tentu.

Kalau kelak kau meniadakanku.

Paling tidak, waktu sudah merekam semuanya.

Tapi, kalau kelak kau merindukanku.

‘Kan kujawab, “Tidak tahu ya? Aku sudah dari dulu.”

2018

8

Engkau,

Dermaga tempatku berlabuh

Cinta datang bukan karena jatuh,

Tapi menepi dengan sungguh

9

Tidak ada hari minggu,

tidaklah pula ada tanggal merah

di kalender masehi maupun hijriah.

Tidak ada aku yang berlibur

mencintaimu.

 

Pada suatu hari,

engkau lahir hari senin

dan aku selasa.

Tidak ada rabu, kamis, jumat, dan sabtu.

Tapi tetap, tidak ada hari minggu

dalam mencintaimu.

10

Jika kelak kau meniadakanku.

Paling tidak, waktu sudah merekam semuanya.

Tanpa perlu foto.

Tanpa perlu jejak sayatan pisau

bertuliskan nama kita berdua di pohon.

11

Aku yakin engkau perempuan baik,

yang akan membaca pesanku

lalu membalas dengan segera.

 

Jika pesanku tenggelam,

semoga Tuhan menjadikan engkau

perempuan yang sabar menscroll pesan.

Amin.

12

Kuperhatikan rambutmu tampak berbeda

sedikit lebih panjang dan mengembang,

Senyummu masih sama,

tulus dan tak pura-pura.

13

Apapun yang terjadi hari ini.

Kami bertatap lebih dekat.

Kami senyum.

Kami melambai.

Dan, mungkin, kami sedang mengulang waktu.

14

Pada akhirnya semua perempuan harus paham,

laki-laki adalah manusia yang menjadi berbeda

sesuai cara pandang perempuan.

15

Tentu, aku masih merasakan dinginnya malam itu di atas motormu.

Namun, seketika pula kehangatan dalam tubuhku meningkat,

ketika yang bersamaku adalah dirimu.

16

Aku tidak lupa membawa permen untukmu,

manisnya cinta menempel di gigimu

yang katanya selalu sakit setelah mengunyahnya,

walaupun sebenarnya kau suka

 

Aku lupa sudah bungkus ke berapa ini.

Kalau permen yang kuberi

sudah habis kau kunyah.

Mengapa manisnya masih tertinggal di wajahmu

17

Seberapa besarpun penolakan yang bersumber darimu terhadapku.

Rasanya sulit jika tidak mengkhawatirkanmu ketika panas sedang terik-teriknya.

Lalu bertanya-tanya tanpa berani menanya.

“Apakah kau sedang dalam adem yang menjagamu atau semburat matahari yang menyilaukanmu?”

 

Seberapa besarpun penolakan yang bersumber darimu terhadapku.

Rasanya sulit jika tidak mengkhawatirkanmu ketika hujan sedang deras-derasnya.

Lalu bertanya-tanya tanpa berani menanya.

“Apakah kau sedang dalam teduh yang nyaman atau riuh cipratan hujan yang menghujam?”

18

Bagaimana jika selendang yang kaugunakan saat menari adalah aku,

yang dijahit benang-benang rindu,

dan lentur bagai nestapa, yang datang tanpa aba.

 

Tapi pernahkah kau membayangkan jika selendang itu aku,

merengkuh tubuhmu yang cring-cring karena suara gelang-gelang India.

Merangkul pundakmu yang basah karena gerak-gerik resah.

Menyingkap-menyahap hatimu, yang ternyata

di dalamnya bukan aku.

19

Aku ingin menjadi jaket-jaketmu

yang kautanggalkan dan tinggalkan

di kepala motor yang kaupakai berkendara

bersama dengan kekasihmu menerabas hujan.

 

Aku ingin menjadi anak kecil dalam dirimu

yang suka sekali tertawa

walaupun hanya mendengar kata-kata nirmakna.

 

Aku ingin menjadi aku untuk mencintaimu

20

Melihat sudut kota dari sudut bibirmu,

yang pusatnya jelas di bening matamu.

Aku tertimbun reruntuhan masa lalu.

Ketika dirimu tak hanya merayu,

tapi sumber penawar pilu.

Standard

Wedang Bajigur

Angin merangsek tubuhku yang gigil dihajar cuaca, memupuh sengit kulit. Selimut merungkup mesra tubuhku.

Ibu langsung membuat kesal santan hingga panas mendidih, raut wajahnya tetap manis, karena ditambah gula merah dan gula pasir, tak lupa di leher santan diberikan pita daun pandan. Dengan segenap hati sesiung jahe ditetak Ibu hingga memar, babak belur. Ditambahkan vanili supaya wajahnya terlihat lebih cerah. Bubuk kopi ditabur, karena ingin menikmati malam sambil bertadabur. Oh wedang bajigur.

Segelas wedang bajigur memupuh sepi sepanjang hari. Menghangat tubuh sepanjang waktu, namun tak lebih dari kasih sayang Ibu.

Terinspirasi dari puisi Hasta I. – Wedang Uwuh

Standard

Suara-suara Sirna

1/

Suara-suara sirna. Suara-suara bahasa. Bahasa ibu dapat kabur. Sebab penghuni kurang tafakur. Bahasa ibu dapat lebur. Sebab teruapkannya syukur.

Suara-suara sirna. Suara-suara bahasa. Bahasa tetangga terkuasa. Plis, jangan lupa bahasa ibu, yang masih rela mengandung anak durhaka, meski mereka lupa.

2/

Suara-suara sirna. Suara angin mengantar riak ke dalam telinga. Suara riak mengantar cinta ke dalam dada, lewat kerang merah muda yang diberikan Baruna. “Kalau rindu laut, tempelkan saja kerang itu di telinga,” katamu.

Terilhami oleh film Kulari Ke Pantai

Standard

Punggungku Bak Kanvas

Dua logam 500 rupiah diambil dari sakunya

memintaku memilih salah satunya,

“Warna emas atau perak, nak?” tanyanya.

 

Bak kuas halus,

warna emas jelas ujungnya lebih mulus.

Akan seimbang karena kanvasnya kasar,

yaitu punggungku yang megar.

 

Dioleskannya cat minyak gandapura.

Warnanya satu, yaitu cinta.

Dia mulai melukis,

epidermisku terkikis,

pori-pori terbuka lebar,

angin dalam tubuhku membuncah keluar.

 

Bukan lukisan kontemporer,

konsep spasial lebih tepatnya.

Garis-garis merah berjejer

seperti barisan tulang yang tertata.

 

Dioleskannya lagi cat minyak gandapura

merata sampai seluruh rongga.

Ditepuk kanvas megar itu,

katanya, “Bismillahirrahmanirrahim, sembuh.”

Standard

Flu

Aku dan kamu sedang flu

namun ngeyel minum es

terpaksa, karena cuaca panas.

 

Hidungmu besar

sedang tersumbat.

Produksi ingusnya mungkin banyak

menyesuaikan lubangnya yang biak.

 

Hidungku tak sebesar hidungmu

sedang tersumbat juga.

Produksi ingusnya mungkin lebih sedikit

menyesuaikan lubangnya yang sempit.

 

Jika ada suatu hal yang aku inginkan,

aku ingin hidung kita bersentuhan

lalu berciuman, hingga lupa

bahwa kita sedang flu tak kunjung reda.

Standard

Kekasihku Tak Enak Badan

Jika nanti kekasihku tak enak badan,

aku ingin kata-kata hilang,

namun aku selalu ada di sampingnya

walaupun untuk sekadar mengusap

keningnya yang lapang.

 

Jika nanti kekasihku tak enak badan,

aku ingin mataku selalu terpejam

dan selalu berdoa pada Tuhan

supaya sakitnya tak lagi menghujam.

 

Jika nanti kekasihku tak enak badan,

aku ingin memberikan obat

yang dokterpun tak tahu obatnya

hanya aku paling tahu yang tepat.

 

Jika nanti kekasihku tak enak badan,

aku ingin memegang tangannya yang hangat

dan kali ini aku harus berkata,

“Kamu kuat. Bahkan melebihi cintaku yang tak tersirat.”

 

Jika nanti kekasihku tak enak badan,

akan kuberikan suapan,

tentu bukan bubur kacang ijo kesukaanku,

jelas adonan kasih dan sayang setiap waktu.

 

Jika nanti kekasihku tak enak badan,

aku tak mau.

Inginku, kamu sehat selalu.

Standard