Sebuah Perjalanan: Mencintai Ianthella basta

Ianthella basta, mulai detik ini, kuberi nama panggilan kau, ‘Ella’. Manis bukan?, dia senang sekali bermain di laut lepas, mampu menyelam hingga ke dasar laut tanpa alat bantu apapun. Dalam dirinya terdapat racun, guna kehidupan melawan tirani-tirani kekuasaan predator-predator dan hama-hama yang cukup merugikan keberlangsungan hidupnya dan manusia di muka bumi. Sehingga, atas nama cinta, aku rela ditikam racun-racunnya.

“Jalur 2 Commuter Line tujuan akhir Stasiun Jakarta Kota berangkat dari Stasiun Lenteng Agung,” Suara perempuan yang berasal dari pengeras suara selalu menemaniku menunggu kereta tujuan ke Stasiun Jakarta Kota, setiap paginya.

“Selamat pagi, Djakardah!”

Aku menunggu di Stasiun Tanjung Barat. Ya, stasiun setelah Lenteng Agung. Bersama saku-saku dan dompet-dompet hidup yang memiliki tujuan yang sama, menjemput sesuatu yang dinamakan rezeki. Tak sedikit pula, bersama gelas-gelas kosong dalam kepala anak-anak menjelang dewasa yang mencari mata air untuk diisikan ke gelasnya, walaupun sebenarnya ada mata air dalam diri mereka. Sedangkan aku? adalah angin yang mengibas rambutmu, kekasih.

Commuter Line tujuan akhir Stasiun Jakarta Kota akan segera tiba.”

“Priiitt…. Priittt… Priittt… Mundur mas! Mundur mba! dibelakang garis kuning,” seru petugas keamanan dengan seragam gelap dan helm terangnya, tak lupa pentungan dengan posisi yang siap dihunuskan jika kejahatan menggangu wilayahnya.

Pintu Commuter Line dibuka, di antara kaki-kaki buruh yang lapar, hanya ada sedikit celah kosong untuk sebuah ketulusan. Aku menjelma buruh yang kakinya begitu lapar, paling tidak untuk merasa serupa, bahwa kita punya hak yang sama untuk gerbong kereta yang sedang kita injak ini. Berdesak-desakan. Hingga bisa jadi, di antara kami sudah saling bertukar bau badan. Tapi tetap, rezeki sudah memilih tuannya masing-masing, tinggal dijemput.

“Sesaat lagi Commuter Line akan tiba di tujuan akhir Stasiun Jakarta Kota.”

Tiba di Stasiun Jakarta Kota. Namun, sayangnya, ini bukan stasiun akhir, hanya transit saja. Karena, aku masih harus menunggu Commuter Line ke arah Stasiun Ancol, menuju Jalan Pasir Putih, tempat di mana dia selalu menunggu kedatanganku. Pokoknya kami ini romantis luar dan dalam.

Selama hampir satu bulan di awal oktober, aku memang tinggal di daerah yang kurang lebih 20 menit menuju Stasiun Tanjung Barat. Tinggal di rumah saudaraku. Setiap pagi pesan ojek daring menuju stasiun. Setiap pagi mesti berdesak-desakan untuk sampai tujuan. Setiap pagi, cintaku selalu tumbuh dan rinduku selalu baru, kekasih.

Setelah memperhitungkan banyak hal, aku memutuskan tinggal bersama kawanku, Jonathan. Kami ngekost berdua dalam satu kamar di daerah Sunter, yang disinyalir sebagai daerah dengan daya panas yang lebih tinggi dibanding daerah Jakarta bagian yang lain. Apa yang dilakukan Jonathan di sana? sama halnya denganku, ingin menjumpai kekasih kami masing-masing di Jalan Pasir Putih. Nama kekasih Jonathan adalah Entrococcus. Kami seringkali double date di ruangan yang sama. Memadu kasih dengan kekasih masing-masing.

Terbentang luas lazuardi

pada diri sendiri

susah di hati

bergegas pergi

Lagu Lazuardi dari Cholil Mahmud (vokalis Efek Rumah Kaca) yang seringkali kuputar menjadi salahsatu penyemangat sebelum berangkat menemuinya, bahwa dalam diri kita terbentang luas asa yang mampu menghalau susah dan segala keresahan hati. Playlist lain yang seringkali kuputar juga adalah lagu Hidup Hanya Sekali dari White Shoes & The Couple Company. Pernah, beberapa kali diplay lagu dari Iksan Skuter yang berjudul Ayah, yang membuat Jonathan semakin merindukan ayahnya, yang waktu itu sedang dalam kondisi kurang sehat.

Kali ini tiada yang cari cinta

sepi di luar sepi mendesak

kuberkaca bukan untuk ke pesta

muka penuh luka

siapa yang punya

White Shoes & The Couple Company – Hidup Hanya Sekali

Ada manusia yang paling ingin aku peluk

tapi aku malu

tidak juga malu sebenarnya

hanya angkuh sebagai lelaki

orang yang sepertinya tak peduli

dengan apa yang kulakukan

diam-diam bertanya kabarku

diam-diam menanyakan

siapa wanitaku sekarang

diam-diam menanyakan segala hal tentangku

pada ibu

Iksan Skuter- Ayah

Malam-malam di Sunter kami habiskan dengan makan nasi goreng-nasi sate-nasi goreng-nasi sate-nasi goreng-nasi sate, selalu begitu hingga selesai waktunya haha, tidak ada pilihan lain. Kami pernah mencoba makanan lain, Soto Betawi, tak disangka harganya edyan paraaah, uangnya bisa kami pakai untuk makan selama 3 malam, tapi ludes begitu saja dalam satu hari.

Selama hampir 3 bulan, aku dan Ella memadu kasih, banyak yang telah kami lewati, segala macam ujian yang terkadang gagal mendapatkan hasil yang sesuai, namun kami sama-sama tidak menyerah. Hingga pada akhir tahun, Desember 2017, kami memutuskan berpisah. Tapi serpihan-serpihan kenangan masih terus kurajut hingga menjadi lembar-lembar catatan yang akan menjadi saksi keberadaanku di muka bumi.

Bagaimana aku harus mengenangmu, Ella. Masih teringat jelas, mencintaimu adalah kesungguhan paling pukau di antara kesungguhan-kesungguhanku mencintai makhluk hidup yang lain, sekalipun yang tercantik di lautan Indo-Pasifik. Kini, kisah kami telah selesai dengan baik-baik. Semua akan berjalan masing-masing, bersama kenangan indah yang pernah kami racik, menjadi ekstrak-ekstrak dari pelarut-pelarut yang telah teruapkan. Terima kasih atas perjalanan yang kadang merepotkan, namun apalah hidup jika tidak disyukuri atas segala apapun yang terjadi.

Mungkin kita tak akan pernah sampai pada apa yang kita inginkan, tapi Tuhan selalu menempatkan kita pada keadaan yang selalu tepat untuk disyukuri. Hidup bukan untuk kufur, tapi perihal syukur.

Standard